Marhaenisme di Indonesia: Kajian Historis Marhaenisme dan Perbedaannya
dengan Sosialisme 1927-1975
Kelompok 7[1]
Abstract: Marhaenism born in Indonesia based on Soekarno idea. Marhaenism not
socialism, although equally fighting for the lower classes. farmers and laborers are
two different things as the main reference and the difference between of
socialism and Marhaenism. Marhaenism
in Indonesia have a strong influence, as seen from its role in the
presence of PNI and Partindo.
Key Words: Marhaenism, Sosialism, Soekarno, Lower Calsses, Farmers, Laborers
Marhaenisme
adalah sebuah pemikiran besar yang lahir dari seseorang yang memiliki semangat
perjuangan tinggi. Marhaenisme kerap kali diidentikkan dengan sosialisme karena
adanya kemiripan perjuangan untuk memperjuangkan masyarakat kelas bawah. Tetapi
perlu dikritisi lebih lanjut mengenai esensi yang ada di dalamnya untuk
memahami lebih dalam mengenai Marhaenisme itu sendiri.
Sosialisme dan
komunisme bukan merupakan dua hal yang sejenis. Keduanya mewakili dua cara
berpikir hidup yang tidak dapat disamakan (Ebenstein, 2006: 300). Hal ini menunjukkan bahwa setiap ideologi memiliki
perbedaan satu sama lain yang menjadi salah satu acuan untuk menelaah perbedaan
antara Marhaenisme dengan Sosialisme. Kita tidak bisa mencampur-adukkan dua
ideologi tanpa mengkaji lebih lanjut terkait kedua ideologi yang memiliki
kemiripan agar tidak menganggap kedua ideologi yang mirip itu sama.
Dalam
perjalanannya, Marhaenisme dan Sukarno memiliki banyak peran penting. Peranan
ini ditunjukkan dengan adanya ideologi ini dalam sebuah organisasi pergerakan
yang ikut serta dalam usaha memperjuangkan kemerdekaan Bangsa Indonesia dari
penjajah. Semangat Sukarno untuk memperjuangkan Bangsa Indonesia banyak termuat
dalam Marhaenisme mengingat Indoensia sebagai Negara kepulauan yang juga
memiliki banyak lahan pertanian. Marhaenisme juga memberikan inspirasi bagi
kaum muda dalam perjuangan memperoleh kemerdekaan Indonesia.
Latar Belakang Marhaenisme lahir di Indonesia
Marhaenisme
merupakan paham yang memiliki tujuan untuk memperjuangkan nasib kaum kecil
untuk mendapatkan kebahagiaan hidup. Adapun dalam pengertian lain bahwa
Marhaenisme ini juga sebagai ideologi politik yang tumbuh dan berkembang di
Indonesia berdasarkan keadaan dan keinginan masyarakat Indonesia dengan asas
sosionasionalme, sosiodemokrasi, gotong royong, kebangsaan, kemerdekaan
beragama dan kerakyatan. Sosionasinalisme adalah nasionalisme Marhaen yaitu
nasionalisme politik dan ekonomi. Suatu nasionalisme yang dimaksud mencari keselesaian
politik dan ekonomi, keselesaian negeri dan rezeki. Sedangkan sosiodemokrasi
adalah demokrasi masyarakat yaitu timbul karena sosionasionalisme dan mencari
suatu keselesaian seperti di atas atau bisa disebut demokrasi politik dan
demokrasi ekonomi (Soenario. 1988: 41).
Sosionasional
berkenaan dengan kehidupan sosial masyarakat Indonesia yang sebagian besar
masih tetap mengikuti alur kehidupan yang lama, yaitu mengikuti tradisi,
ketentuan adat istiadat yang berlaku, peraturan yang mengikat dalam kehidupan
sosial di desa, dan alur yang lain. Dapat dilihat, sebagian besar mata
pencaharian masyarakat Indonesia sebagai petani. Beras diubah menjadi nasi
merupakan makanan wajib. Karena Indonesia merupakan negara kepulauan yang salah
satunya banyak lahan pertanian subur di berbagai pulau-pulau di Indonesia.
Perlu diingat bahwa tidak hanya
petani sebagai mata pencaharian masyarakat Indonesia. Ada juga sebagai nelayan
yang memiliki nilai tinggi dalam suatu perdagangan jika hasilnya dijual.
Bermacam-macam laut yang mengelilingi pulau-pulau di Indonesia menjadi daya
tarik tersendiri bagi masyarakat yang tinggal di pinggir laut. Para nelayan
yang bekerja sendiri dengan alat-alat seperti tongkat, kail, jaring, dan
perahunya juga kepunyaan sendiri. Sangat berwarna-warni cara masyarakat
Indonesia untuk melangsungkan kehidupan yang semakin menuntut. Tidak ada kata berhenti di dalam hati mereka,
karena siapa lagi yang melakukannya jika bukan mereka sendiri. Hasilnya juga
akan dinikmati mereka yang melakukan dan orang sekitarnya.
Hal di atas menjadi semacam permasalahan yang
terus berada di dalam bayangan Soekarno.
Memutar mencari solusi untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul. Pemikiran
ini ada di benak Soekarno semejak masa muda yang masih bergelut di bidang studinya
di kampus. Pemikiran ini terus mengantarnya sehingga Soekarno bertemu dengan
seorang petani yang sedang mengerjakan sawahnya yang luas lahannya kurang lebih
sepertiga hektar. Dari sepenangkapan Soekarno bahwa petani itu sangat sederhana
dengan mengenakan pakaian yang sudah lusuh. Diam memperhatikan dan mencoba
berbincang dengannya. Hasil perbincangan ini bahwa si petani itu bernama
Marhaen yang memiliki lahan sawah tersebut, pemilik peralatan yang digunakan,
dengan tujuan untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Jika pun
memperkejakan orang lain untuk mengerjakan sawahnya, si petani tidak mampu
untuk membayarnya (Adams, Cindy, 1966: 50). Sungguh kehidupan yang malang. Iba
melihatnya. Semenjak itu, Soekarno memakai nama si petani tersebut “Marhaen”
untuk semua rakyat Indonesia yang bernasib sama seperti si petani.
Semua petani
yang bernasib tidak mujur ini merupakan akibat dari sistem feodal yang pada
mulanya petani pertama diperas oleh para bangsawan yang pertama dan seterusnya
sampai ke anak cucunya selama mungkin sebelum mereka bisa merubah keadaan
mereka sendiri menjadi lebih baik. Rakyat Indonesia yang bukan petanipun
menjadi korban dari imperialisme perdagangan Belanda. Seorang Marhaen adalah
orang yang memiliki alat-alat yang sedikit yang sekedar cukup untuk dirinya
sendiri. Bangsa Indonesia yang memiliki penduduk puluhan juta jiwa suda
diperlakukan tidak adil dengan cara bekerja untuk orang lain dan tidak ada
orang yang bekerja untuk mereka.
Soekarno
memiliki keinginan yang kuat untuk mewujudkan cita-cita kaum Marhaen. Karena
Soekarno yakin bahwa adanya perkembangan zaman ini kaum Marhaen ini harus
berubah dalam arti dari segi kehidupan. Karena sebelum itu kaum Marhaen
menghadapi kesengsaraan yang makin meluas dan mendalam. Semua keyakinan Soekarno
itu tertuang pada hakikat Partai Indonesia dan Pendidikan Nasional Indonesia.
Namun, ada juga perbedaan di antara keduanya yang pernah terjadi perselisihan.
Setelah
berdirinya Partai Nasional Indonesia, maka untuk menegakkan cita-cita partai
yang bersifat nasionalis, demokratis, dan sosialisme maka dikemukakan Soekarno
dengan sebutan “Marhaen” dan Marhaenisme” bagi semua kaum melarat atau kaum
kecil Indonesia yang keadaannya serba kekurangan dan perlu diperbaiki.
Marhaenisme secara nyata tidak pernah masuk dalam suatu dokumen resmi dari PNI dalam periode tahun
1927-1929 yang mungkin berupa pernyataan asas misalnya, meskipun banyak sekali
dikembangkan oleh Soekarno dan PNI sampai menjadi suatu persoalan pemeriksaan
khusus di depan Landraad Bandung (Soenario, 1988: 38).
Semua yang
diuraikan Soekarno menunjukkan bahwa tampak sekali jasa-jasa Soekarno di
samping kekurangannya bagi negara dan bangsa karena telah berhasil
menyumbangkan kepada rakyat Indonesia suatu ideologi yang ia telah majukan
dalam bentuk istilah-istilah dan definisi pada masa PNI dan Partindo yang
sebenarnya memang telah berakar dalam cita-cita bangsa Indonesia sendiri
(Soenario, 1988: 43). Maka dari itu PNI tidak dapaat mengikuti tafsiran pribadi
Soekarno bahwa seolah-oleh Marhaenismelah “Marxisme yang diterpakan pada
situasi dan kondisi Indonesia dan tafsiran ini belum pernah masuk dalam dokumen
PNI (1927)”. Dalam Kongres Pemuda Demokrat IX di Solo pada tanggal 25 Oktober
1958, Soekarno mengatakan demikian: “Asas Marahaenisme yang saya terapkan
kepada situasi, kondisi dan sejarah Indonesia”. Dikemukakan hal ini tidak
mengurangi penghargaan dan penghormatan terhadap Soekarno dalam perjuangan dan
penderitaannya sebagai pengorbanan bagi bangsa dan tanah air dan juga tidak
menyaampingkan pemikir-pemikir lainnya seperti Moh. Hatta. Muh. Yamin. Mr.
Soebardjo, dan lain-lainnya.
Soekarno (1964:
252) menjelaskan dalam bukunya sebagai berikut:
Didalam
konferensinja dikota Mataram baru-baru ini , maka Partindo telah mengambil
putusan tentang Marhaen dan Marhaenisme, jang mana punt-puntnya antara
lain-lain sebagai berikut:
1. Marhaenisme,
jaitu sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi
2. Marhaen
jaitu kaum proletar Indonesia, kaum tani tani indonesia jang melarat dan kaum
melarat Indonesia jang lain-lain
3. Partindo
memakai perkataan marhaen, dan tidak proletar, oleh karena perkataan proletar
sudah termaktub didalam perkataan marhaen, dan oleh karena perkataan proletar
itu bisa juga diartikan bahwa kaum tani dan lain-lain kaum jang melarat tidak
termaktub di dalamnya
4. Karena
partindo berkejakinan, bahwa didalam perdjoangan , kaum melarat indonesia
lain-lain itu jang harus menjadi elemen-elemennja (bagian-bagiannya), maka
partindo memakai perkataan marhaen itu.
5. Didalam
perdjoangan marhaen itu maka partindo berkejakinan, bahwa kaum proletar
mengambil bagian jang besar sekali
6. Marhaenisme
adalah azas jang menghendaki susunan masyarakat dan susunan negeri jang didalam
segala halnya menjelamatkan marhaen
7. Marhaenisme
adalah pula tjara-perdjoangan untuk mentjapai susunan masyarakat dan susunan
negeri yang demikian itu, jang oleh karenanya, harus suatu tjara-perdjoangan
jang revolusioner
8. Djadi
marhaenisme adalah : tjara-perjuangan dan azas jang menghendaki hilangnja
tiap-tiap kapitalisme dan imperialisme
9. Marhaenis
adalah tiap-tiap orang bangsa indonesia , jang mendjalankan marhaenisme
Sembilan
kalimat dari putusan ini sebenarnja sudah tjukup terang menerangkan apa artinja
Marhaen dan Marhaenisme.
Pengaruh
Marhaenisme terhadap Indonesia
Marhaenisme
dalam pandangan Soekarno merupakan paham yang tak akan pernah lepas dari
keberadaan rakyat Indonesia. Keinginan Soekarno untuk mensejahterakan kaum
Marhaen sebagai kaum yang tertindas dan tertinggalkan dari pengaruh- pengaruh
kekejaman imperialisme dan kapitalisme bangsa kolonial cukup besar. Hal ini
membawa Soekarno untuk melakukan sebuah pergerakan Revolusionis demi perubahan
kaum Marhaen dan kesejahteraan bangsa Indonesia. Keinginan untuk merdeka dan
melepaskan bangsa Indonesia dari segala bentuk pengaruh penjajahan, membuat
Soekarno dan Marhaenismenya sebagai sosok yang dikagumi oleh banyak orang.
Dalam perkembangannya, Marhaenisme memang mendapatkan peran
dan posisi penting dalam masyarakat Indonesia pada masa tersebut terutama saat
dijadikan sebagai asas dan ideologi suatu partai politik atau organisasi
kemasyarakatan yang menentang sistem kapitalisme. Seperti PNI (Pendidikan
Nasional Indonesia) dan PI (Partai Indonesia), memang dua-duanya merupakan
organisasi yang membela kepentingan Marhaen (Sukarno,1964: 168). Apalagi pada
masa Soekarno menjabat sebagai Presiden Negara Kesatuan Republik Indonesia,
Marhaenisme menjadi istilah yang populer di kalangan rakyat Indonesia dan
banyak kebijakan-kebijakan Soekarno yang anti-kapitalisme diterapkan di
Indonesia karena besarnya pengaruh Marhaenisme dalam pemikiran-pemikiran dan
konsepsi-konsepsi Soekarno.
Selain faktor
Soekarno, Marhaenisme pun menjadi suatu wacana yang dapat diterima oleh
masyarakat Indonesia karena sifatnya yang mempersatukan rakyat dan juga oleh
karena mampu mengkritisi dan memberikan solusi yang sesuai dengan situasi dan
kondisi atas persoalan-persoalan masyarakat Indonesia pada saat itu. Sudah
sewajarnya jika tidak hanya kaum petani yang memperjuangkan Marhaen, kaum buruh
pun juga memegang pengaruh besar. Oleh karena itu mereka harus bisa menjadi
pelopor dalam memerangi kapitalisme.
Menurut Marx,
kaum tani harus dijadikan kawannya kaum buruh, dipersatukan dan dirukunkan
dengan kaum buruh, untuk melawan kapitalisme, agar nantinya tidak menjadi
pengikut kapitalisme (Sukarno,1964:
256).
Soekarno dengan terang membedakan
antara karakter kelas kaum tani dan kaum buruh. Menurutnya, kaum tani umumnya
masih hidup satu kaki di dalam ideologi feodalisme, hidup dalam angan-angan
mistik yang melayang-layang di atas awang-awang dengan pergaulan hidup dan cara
produksi yang masih kuno. Sedangkan Proletar di mata Soekarno sudah mengenal
pabrik, mesin, listrik dan cara produksi kapitalisme. Mereka langsung
menggenggam hidup-matinya kapitalisme di dalam tangan mereka. Meskipun begitu,
tidak menutup kemungkinan jika nantinya kaum buruh dan tani akan terpengaruh
untuk mengikuti kapitalisme.
Gagasan Marhaenisme Soekarno itu sebagai ajaran yang secara
keseluruhan mengandung sifat-sifat subjektif dan idealis. Alasannya, karena
Soekarno mencampurkan ke dalam ajaran marhaenisme itu beberapa ajaran-ajaran
sosialisme borjuis kecil, khususnya sosialisme Islam dan ide-ide tradisional,
yang tidak sejalan dengan gagasannya tentang demokrasi dan anti-imperalisme.
Pada awalnya, Soekarno agak berhati-hati dengan materialisme, karena
anggapannya materialisme itu anti-Tuhan. Marheanisme adalah kunci perjuangan melawan kaum borjuis
di Indonesia. Dari pada menjadi kaum buruh yang hidup dibawah bayang- bayang
arogansi kaum feodal ataupun borjuis lebih baik berdiri di atas kaki sendiri
meskipun tanah yang diinjak tak selicin tanah yang di harapkan dari para
kapitalis.
Marhaenisme pernah
menjadi istilah yang populer
ketika Soekarno berada di puncak kekuasaannya dan begitu Soekarno surut dari
panggung politik, lambat laun kata itu jarang terdengar. Marhaenisme dan
Soekarno merupakan suatu hal yang tidak bisa dipisahkan, karena Marhaenisme
sebagai rumusan pertama kalinya dicetuskan Soekarno. Sebagai asas partai,
Marhaenisme berakhir dengan berfusinya PNI kedalam PDI pada tahun 1975. Ada
sejumlah organisasi masyarakat yang berasaskan Marhaenisme, seperti Gerakan
Mahasiswa Nasional Indonesia dan Gerakan Wanita Marhaenis. Tetapi dengan
berlakunya Pancasila sebagai asas tunggal, Marhaenisme tidak boleh digunakan
sebagai asas organisasi.
Dalam perkembangan selanjutnya, terutama setelah Soekarno
tidak lagi berkuasa kemudian diikuti bubarnya beberapa partai politik dan
dilebur kedalam satu partai politik pada masa Orde Baru, Marhaenisme seolah
hilang menjadi suatu istilah yang semakin asing didengar apalagi diwacanakan
khususnya dalam perpolitikan Indonesia. Di sisi lain, kapitalisme justru
semakin berkembang dan tumbuh mendominasi dunia dengan wujudnya yang tidak lagi
penjajahan secara fisik, akan tetapi menjelma kedalam suatu ide-ide dalam
pemikiran-pemikiran politik dan ekonomi suatu negara, tidak terkecuali
Indonesia.
Perbandingan
Sosialis dengan Marhaenisme
Kata
“sosialisme” sendiri muncul di Prancis sekitar 1830, begitu juga kata
“komunisme” (Magnis & Suseno, 1999: 19).
Jika
kita bandingkan antara Sosialis dengan Marhaenisme
yang merupakan sama – sama ideologi yang muncul dengan latar belakang
penindasan dan ketidakadilan maka terhadap kedua ideologi tersebut terdapat
perbadaan yang terjadi. Ideologi sosialis muncul dikarenakan adanya reaksi
terhadap revolusi industri dan akibatnya ajaran ini sebagai bentuk kekecewaan
manusia terhadap penindasan yang dilakukan oleh manusia ( kaum industriawan/
kapitalis) terhadap kaum buruh / proletar (Efriza, 2008 : 99). Selain itu, kaum
buruh yang pada perkembangan Sosialis juga hanya bisa menjual tenaga kerjanya
kepada kaum pemilik modal dikarenakan kaum buruh tidak memiliki sarana – sarana
produksi. Perbaikan ekonomi seluruh lapisan masyarakat dan penyelesaian masalah
yang timbul antara kaum kapitalis dan buruh merupakan serangkaian timbulnya
ideologi Sosialis.
Lain
halnya dengan ideologi Marhaenisme
yang berkembang di Indonesia, bahwa lahirnya ideologi Marhaenisme ini untuk
mensejahterakan rakyat Indonesia terutama para buruh dan tani dalam bidang
apapun tidak hanya dalam bidang industri kepada pemilik modal yang cenderung
tidak merata tetapi juga berbagai bidang. Misalnya dalam bidang pertanian ,
bidang ekonomi dan bidang – bidang yang lainnya yang ada di Indonesia. Dalam
ideologi Marhaenisme
ini yang berkembang di Indonesia bahwa rakyat – rakyat Indonesia pada waktu itu
sangatlah miskin karenakan ditindas oleh penjajah. Dan diharapkan mereka ini
merupakan kelompok yang sekarang ini lemah dan terampas hak-haknya, tetapi yang
nantinya ketika digerakkan dalam gelora revolusi akan mampu mengubah dunia
(Wardaya S.J, 2006: 44)
Selain
buruh dan tani , rakyat miskin di Indonesia tidak hanya itu saja bisa disebut
dengan tukan becak, pedagang kaki lima, tukang jamu dan pekerjaan yang tidak
tetap. Maka dari itu timbul keinginan Soekarno untuk mensejahterakan rakyat
Indonesia. Bila dilihat dari perbedaan ideologi yang Sosialis bahwa di Eropa
hanya ingin mensejahterakan kaum buruh dan petani dikarenakan kesenjangan yang
amat jauh dengan pemilik modal. Sedangkan di Indonesia yang tentang ideologi Marhaenisme ini untuk
mensejahterakan segala bidang di Indonesia tidak hanya buruh dan tani seperti
di Eropa tetapi juga disegala aspek yang ada di Indonesia terutama kalangan
bawah untuk hidup yang lebih layak lagi.
Selain
itu perbedaan Sosialisme dengan Marhaenisme
yang di Indonesia. Bahwa sosialisme yang merupakan reaksi terhadap revolusi
industri ini menekankan ajarannya pada kepemilikan kolektif atas alat – alat
produksi yang ada di Eropa. Dengan menenkankan alat – alat produksi yang ada di
Eropa maka akan ada kesenjangan yang terjadi antara buruh dan kepemilikan
modal, dikarenakan kaum buruh tidak mempunyai
sarana produksi. Sedangkan bila dilihat di Indonesia dengan konsep ideologi Marhaenisme , memang ada
kesenjangan antara pemilikan modal dengan buruh, tetapi miskinnya orang
Indonesia dengan orang Eropa sangatlah berbeda. Dikarenakan di Indonesia
terdapat berbagai pekerjaan.
Perbandingan
yang lainnya ialah, bahwa ideologi Marhaenisme
ini muncul dari pemikiran Soekarno setelah
melihat rakyatnya yang begitu menderita dikarenkan penjajah dan kolonialisme
bangsa barat. Sedangkan untuk ideologi sosialis itu sendiri, ditekankan di
Eropa pada waktu itu negara – negara di Eropa tidak sedang dijajah oleh bangsa
lainnya. Melainkan hanya adanya kesenjangan dari kaum buruh dan kaum pemilik
modal. Bila dilihat dari sudut pandang kedua ideologi tersebut maka ditekankan
pada di Indonesia sedang dijajah oleh bangsa barat sedangkan di Eropa tidak
dijajah oleh negara apapun hanya terjadi kesenjangan yang tidak merata sehingga
kaum buruh merasa tidak adil.
Pada
ideologi Sosiolis ini menekankan untuk pembatasan dan bila perlu dihapusakan
hak milik pribadi dikalangan kaum pemilik modal dan menggantikannya dengan
pemilikan bersama atas sarna produksi (Efriza, 2008 : 99). Maka dengan cara ini
ketimpangan antara pemilik modal dengan kaum buruh tidak akan terlalu jauh dan
bisa disejajarkan. Untuk bisa disejajarkan oleh kaum pemilik modal maka rakyat
di Eropa harus berjuang lebih keras dan juga dibantu dengan para ahli yang
mendukung ideologi sosialis ini.Sedangkan ideologi Marhaenisme tidak menekankan pada
penghapusan kepemilikan modal tetapi hanya untuk membatasi modal tersebut.
Sedangkan untuk kaumnya yang lainnya seperti pekerjaan petani, pedagang, tukang
ojek, tukang becak supaya rakyat Indonesia ini bisa sejahtera dan makmur dari
kolonialisme bangsa barat dan bagaimana cara membebaskan mereka dari penjajahan
bangsa barat.
Jika cara yang ditempuh ialah dengan
menghapuskan pemilik modal atau dengan memberlakukan hak milik bersama di
Indoensia seperti yang diinginkan oleh kaum Sosialis akan menimbulkan masalah.
Masalah yang timbul ialah dimungkinkannya peranan Negara menjadi tidak jelas.
Bahkan kemungkinan akan tidak jelasnya status dan peran setiap orang sulit
dipungkiri. Seperti penjelasan di atas, Indonesia merupakan Negara yang
memiliki keberagaman yang tinggi. Bukan hanya dari masalah suku bangsa dan
bahasa, tetapi pekerjaan yang dijalankan oleh masyrakatnyapun beragam. Hal ini
tentunya memerlukan apa yang seharusnya diterapkan di Indonesia sesuai dengan
apa yang di Indonesia.
Selain
perbandingan diatas, perbandingan yang lainnya yaitu merupakan perbandingan
yang penting. Bila kita lihat dari perbandingan diatas untuk sama – sama untuk
mensejahterakan kaum yang tertindas tetapi di Eropa selangkah lebih maju dari
pada Indonesia. Dikarenakan pemerintahan yang di Eropa ikut campur tangan untuk
menyelesaikan persoalan ini, maka dalam kurun waktu tidak lama rakyat di Eropa
setelah abad 19 sudah sejahtera dan makmur dan tidak terjadi ketimpangan yang
terlalu jauh. Sedangkan di Indonesia butuh waktu yang lama untuk
mensejahterakan rakyat bahkan sampai sekarang masih belum sejahtera dan
ketidakadilan itu masih ada dan semakin banyak di Indonesia. Maka dari itu
perbandingan yang terjadi antar ideologi Sosialisme dengan Marhaenisme di
Indonesia sangatlah berbeda dan perbandingan memang ada walaupun ideologi ini
diadaptasi dengan ideologi Maxisme, tetapi juga ada perbedaan dalam penerapan
di Indonesia karena harus diterapkan sesuai dengan kondisi masnyarakat
Indonesia.
Kesimpulan
Marhenisme yang lahir dan
tumbuh di Indonesia memang memiliki kemiripan dengan sosialisme terkait
perjuangannya memperjuangkan masyarakat kelas bawah. Hal yang penting untuk
dikaji ialah terkait dengan masalah orientasi dan cara yang dilakukan.
Marhaenisme berorientasi pada kaum tani (petani), sedangkan untuk sosialisme
berorientasi pada kaum buruh. Perlu diingat pula bahwa Marhaenisme muncul
sebagai buah dari pengalaman Sukarno. Marhaen yang akhirnya menjasi Marhaenisme
merupakan julukan kepada petani yang ditemui oleh Soekarno karena rasa iba yang
kemudian memberikan inspirasi kepada Soekarno untuk memperjuangkan nasib kaum
tani (petani).
Sosialisme yang identik
dengan kepemilikan bersama sulit dijalankan di Indonesia. Kehendak Marhaenisme
bukanlah penghapusan pemilik modal, tetapi lebih mengacu pada pengendalian. Hal
ini semakin memperkuat bahwa memang ada perbedaan yang mendasar. Perlu diingat
pula bahwa di Indonesia bukanlah Eropa, Indonesia memiliki struktur yang
berbeda. Baik secara sosial, budaya maupun ekonomi. Marhaenisme adalah asli
Indonesia meskipun terinspirasi dari pemikiran ahli dari luar negeri. Adanya
adaptasi inilah yang membuat Marhaenisme mampu berdiri kuat secara mandiri.
Daftar Rujukan
Adams,
Cindy. 1966. Bung Karno Penjambung Lidah
Rakjat Indonesia. Jakarta: Gunung Agung.
Ebenstein,
William. 2006. Isme-isme yang mengguncang
Dunia. Yogyakarta: Narasi.
Efriza.
2008. Ilmu Politik Dari Ilmu Politik
Sampai Sistem Pemerintahan : Bandung.
Alfabeta, cv.
Magnis,
F & Suseno.1999. Pemikiran Karl Marx
dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Soekarno.
1964. Di Bawah Bendera Revolusi.
Jakarta: Panitia Penerbitan.
Soenario.
1988. Banteng Segitiga. Jakarta:
Yayasan Marinda.
Wardaya
SJ, Baskara T. 2006. Bung
Karno Menggugat: Dari Marhaen, CIA, Pembantaian
Massal ’65 Hingga G 30 S. Yogyakarta:
Galang Press.
1.
Asvin Novitasari 120731400297
2.
Elsa Putri Anggraeni 120731435981
3.
Putut Nugraha Wijaya 120731435975
4.
Shofa Urrhangga 120731435867
5.
Vinny Dhenada K. 120731435985
6. Zainul
Hasan 120731435973